Review Dari Imponk
Saya masih ingat waktu itu, sekitar pukul empat pagi, tiba-tiba Ollie muncul di jendela YM!“Kok tumben pagi-pagi udah OL?” tanyaku menodong.Pertanyaan saya cukup beralasan, sebab sangat janggal bila seorang cewek seperti dia online di pagi buta(!) seperti itu. Dari jawabannya terungkaplah, bahwa dia sedang “berburu” bahan untuk novelnya. Seattle, sebagai setting novel perdananya, tentu tidak mudah untuk digambarkan. Ia sangat jauh (bahkan jauuuuuuuh) dari Jakarta. Pun jauuuuuh dari Depok tempat Ollie biasa “nongkrong”. Tentu ini sangat menyulitkan baginya untuk menggambarkan secara detail, atau paling tidak bisa menghadirkan suasana Seattle di novelnya.
Dan pagi itu, barangkali demi mengejar deadline —pikirku–, Ollie pun harus kerja keras. Caranya, tentu dengan memanfaatkan internet, dan juga mengandalkan informasi dari teman-teman dari sana —mungkin Ayu salah satunya. Dan dari perbincangan itulah, saya pun tidak lupa ditodong balik untuk membeli novel tersebut yang kira-kira akan segera terbit sekitar bulan puasa. “Syukur-syukur bisa ditulis di media (koran),” desaknya.
Tak sia-sia perjuangan keras itu, novel yang terbit September 2005 sudah naik cetak yang kedua Desember lalu. Ini berarti novel perdananya laku, banyak dibeli orang. “Surprise di hari yang dingin ini, tidak menyangka sih dari cetakan kedua ke cetakan ketiga begini cepat, tapi I’m so grateful…,” tulisnya dalam blog.
Sesuai dengan judulnya, Look! I’m on Fire, cerita ini tidak jauh dari api —entah api yang sebenarnya atau api yang lain. Dikisahkan, seorang gadis bernama Ema sedang putus cinta dari pacarnya, Louis. Di tengah kesedihan, tiba-tiba apartemen tempat ia tinggal kebakaran. Kriiiiiiiiinggggggg. Alarm kebakaran meraung-raung. Seorang security membawa megaphone dan berteriak-teriak, “Ini bukan latihan…saya ulangi…ini bukan latihan!!!” Ema pun panik, menyelamatkan diri. Nasib apes menimpanya. Ia terjebak dalam kobaran api. Ema pun terjatuh. Namun ia masih selamat karena ditolong oleh seorang cowok bernama Joko.
Ceritanya, Joko tidak mau menjadi “hero” dan menyuruh suster menyimpan identitasnya kalau-kalau Ema yang masih terbaring di salah satu ruang Rumah Sakit itu siuman. Padahal Ema sangat ingin tahu siapakah penolongnya —Sang “Savior”— yang telah menyelamatkan nyawanya itu. Kalau dia cowok, ganteng dan kaya, maka ia akan mejadikan sang savior sebagai pendamping hidupnya. Agak lucu memang kedengarannya syarat-syarat yang diajukan Ema, namun begitulah penulis ingin menghadirkan. Dari situlah sebuah kisah dimulai. Bagaimana hubungan dengan Joko dan teman-teman, dan pergumalan kisah cinta di antara mereka.
Karena bersetting Seattle, sebagian doalog menggunakan dipaparkan dalam bahasa “sono”. Tetapi karena novel ini juga tidak ingin bertaburan bahasa asing, Ollie mengemasnya dengan bahasa ‘lu-gue’ yang kental, khas bahasa anak-anak Kosmpolit dan juga khas cerita-cerita dalam chiklit. Entah, itu bahasa yang diterjemahkan atau bahasa asli mereka di apartemen karena sebagian mereka juga berasal dari Indonesia. Sejekan, bahasa yang digunakan Ollie terkesan sangat lugas. Bahkan, hampir tidak ada kata yang ‘meliuk-liuk’ seperti novel-novel umumnya. Barangkali beginilah khas novel pop, pikirku, dan tiap penulis tentu terserah dengan tulisan-tulisannya.
Dari segi cerita, sebenarnya cerita Ollie terbilang cukup simpel. Ia hanya bercerita tentang Ema dan temannya bernama Putri, dan juga Joko plus teman-temannya bernama Basuki dan Nick. Tidak lupa kekasih “palsu” yang disodorkan ibunya yang bernama Sharon. Mereka adalah mahasiswa Seattle University atau lebih di kenal dengan sebutan Seattle U.
Memang, secara keseluhan masih banyak cerita yang terasa “janggal” di benak saya. Bagaimana emosi Ema saat tahu kalau sebenarnya sang Savior itu ternyata adalah Joko, seorang yang bersamanya sampai-sampai “pulang kampung” ke Jakarta dan pindah sekolah ke UI. Bagaimana ketika Joko secara “kebetulan”, melamar ia di dalam bus dengan menyamar sebagai pengamen. Bagaimana ibu Joko yang sudah berlama-lama di Seattle tetapi masih ‘peduli’ dengan Jawa-nya. Bagaimana proses pembuatan film kartun buatan teman Joko untuk Ema. Bagaimana …
Namun, Ollie saya rasa sudah cukup hebat jika bisa menerbitkan novel perdananya. Sebagaimana ditulis dalam pengantar, memang ini hanya “sekadar upaya”. Sekadar upaya untuk menambah literatur di Indonesia. Sekadar upaya untuk proses kreatif baginya. Dan kamu berhak merasakan “terbakar atau tidak” ketika membacanya.
(source: http://imponk.blogsome.com)
Dan pagi itu, barangkali demi mengejar deadline —pikirku–, Ollie pun harus kerja keras. Caranya, tentu dengan memanfaatkan internet, dan juga mengandalkan informasi dari teman-teman dari sana —mungkin Ayu salah satunya. Dan dari perbincangan itulah, saya pun tidak lupa ditodong balik untuk membeli novel tersebut yang kira-kira akan segera terbit sekitar bulan puasa. “Syukur-syukur bisa ditulis di media (koran),” desaknya.
Tak sia-sia perjuangan keras itu, novel yang terbit September 2005 sudah naik cetak yang kedua Desember lalu. Ini berarti novel perdananya laku, banyak dibeli orang. “Surprise di hari yang dingin ini, tidak menyangka sih dari cetakan kedua ke cetakan ketiga begini cepat, tapi I’m so grateful…,” tulisnya dalam blog.
Sesuai dengan judulnya, Look! I’m on Fire, cerita ini tidak jauh dari api —entah api yang sebenarnya atau api yang lain. Dikisahkan, seorang gadis bernama Ema sedang putus cinta dari pacarnya, Louis. Di tengah kesedihan, tiba-tiba apartemen tempat ia tinggal kebakaran. Kriiiiiiiiinggggggg. Alarm kebakaran meraung-raung. Seorang security membawa megaphone dan berteriak-teriak, “Ini bukan latihan…saya ulangi…ini bukan latihan!!!” Ema pun panik, menyelamatkan diri. Nasib apes menimpanya. Ia terjebak dalam kobaran api. Ema pun terjatuh. Namun ia masih selamat karena ditolong oleh seorang cowok bernama Joko.
Ceritanya, Joko tidak mau menjadi “hero” dan menyuruh suster menyimpan identitasnya kalau-kalau Ema yang masih terbaring di salah satu ruang Rumah Sakit itu siuman. Padahal Ema sangat ingin tahu siapakah penolongnya —Sang “Savior”— yang telah menyelamatkan nyawanya itu. Kalau dia cowok, ganteng dan kaya, maka ia akan mejadikan sang savior sebagai pendamping hidupnya. Agak lucu memang kedengarannya syarat-syarat yang diajukan Ema, namun begitulah penulis ingin menghadirkan. Dari situlah sebuah kisah dimulai. Bagaimana hubungan dengan Joko dan teman-teman, dan pergumalan kisah cinta di antara mereka.
Karena bersetting Seattle, sebagian doalog menggunakan dipaparkan dalam bahasa “sono”. Tetapi karena novel ini juga tidak ingin bertaburan bahasa asing, Ollie mengemasnya dengan bahasa ‘lu-gue’ yang kental, khas bahasa anak-anak Kosmpolit dan juga khas cerita-cerita dalam chiklit. Entah, itu bahasa yang diterjemahkan atau bahasa asli mereka di apartemen karena sebagian mereka juga berasal dari Indonesia. Sejekan, bahasa yang digunakan Ollie terkesan sangat lugas. Bahkan, hampir tidak ada kata yang ‘meliuk-liuk’ seperti novel-novel umumnya. Barangkali beginilah khas novel pop, pikirku, dan tiap penulis tentu terserah dengan tulisan-tulisannya.
Dari segi cerita, sebenarnya cerita Ollie terbilang cukup simpel. Ia hanya bercerita tentang Ema dan temannya bernama Putri, dan juga Joko plus teman-temannya bernama Basuki dan Nick. Tidak lupa kekasih “palsu” yang disodorkan ibunya yang bernama Sharon. Mereka adalah mahasiswa Seattle University atau lebih di kenal dengan sebutan Seattle U.
Memang, secara keseluhan masih banyak cerita yang terasa “janggal” di benak saya. Bagaimana emosi Ema saat tahu kalau sebenarnya sang Savior itu ternyata adalah Joko, seorang yang bersamanya sampai-sampai “pulang kampung” ke Jakarta dan pindah sekolah ke UI. Bagaimana ketika Joko secara “kebetulan”, melamar ia di dalam bus dengan menyamar sebagai pengamen. Bagaimana ibu Joko yang sudah berlama-lama di Seattle tetapi masih ‘peduli’ dengan Jawa-nya. Bagaimana proses pembuatan film kartun buatan teman Joko untuk Ema. Bagaimana …
Namun, Ollie saya rasa sudah cukup hebat jika bisa menerbitkan novel perdananya. Sebagaimana ditulis dalam pengantar, memang ini hanya “sekadar upaya”. Sekadar upaya untuk menambah literatur di Indonesia. Sekadar upaya untuk proses kreatif baginya. Dan kamu berhak merasakan “terbakar atau tidak” ketika membacanya.
(source: http://imponk.blogsome.com)